Kamis, 08 November 2012

CONTOH MEMBUAT MAKALAH


MAKALAH
PERKEMBANGAN EMOSIONAL ANAK TK/RA

BAB I
PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Manusia senantiasa mengalami perubahan sepanjang hidupnya. Pengalaman di masa kecil akan mempengaruhi proses-proses dalam kehidupan selanjutnya. Perubahan inilah yang disebut dengan perkembangan, yaitu pola perubahan yang dimulai dari masa pembuahan (konsepsi) dan berlangsung secara terus menerus selama kehidupan seseorang. Adapun perkembangan itu dapat diklasifikasikan berdasarkan karakteristik yang khas pada setiap periode kehidupan, yaitu masa prenatal, bayi, kanak-kanak awal, kanak-kanak madya dan akhir, remaja, dewasa awal, dewasa madya, serta dewasa akhir.
Berbagai proses yang cukup kompleks mendasari perubahan tersebut. Paling tidak ada tiga area perubahan dalam diri seorang individu, yaitu area biologis, kognitif, dan sosioemosional. Proses biologis meliputi karakteristik-karakteristik fisik individu, seperti perkembangan otak, tinggi dan berat badan, dan aspek-aspek hormonal.
Proses kognitif melibatkan perubahan yang terjadi dalam pola pikir, inteligensi, dan kemampuan berbahasa individu. Area yang ketiga adalah proses sosioemosional yaitu perubahan dalam hubungan individu dengan orang lain, emosi, serta pola kepribadiannya. Ketiga proses tersebut memiliki interaksi yang saling mempengaruhi satu sama lain. Proses-proses sosioemosional akan membentuk proses kognitif, dan selanjutnya.
Psikologi perkembangan anak akan berfokus pada proses-proses perubahan biologis, kognitif, dan sosioemosional yang terjadi pada seorang anak. Kategori masa kanak-kanak itu sendiri biasanya diklasifikasikan dalam dua masa, yaitu masa kanak-kanak awal early chillhood (2 – 6 tahun) serta masa kanak-kanak madya dan akhir late chillhood (6 – 11 tahun). Pada masa-masa ini, perubahan yang terjadi pada ketiga area di atas berlangsung relatif cepat dan menonjol. Informasi tentang perkembangan yang terjadi pada anak-anak akan membawa implikasi pada cara pengajaran dan pendidikan mereka. Orangtua dan guru, sebagai bagian dari lingkungan sosial anak, dapat menjadi lebih peka dalam berinteraksi dengan anak serta mampu menstimulasi dan memotivasi perilaku-perilaku positif anak yang sesuai dengan perkembangannnya. Di samping itu, psikologi perkembangan anak akan membantu dalam mengungkap potensi-potensi yang ada pada seorang anak yang mungkin krusial untuk perkembangan masa-masa selanjutnya.
2.      Rumusan Masalah
Agar penyusunan makalah ini lebih terfokus,maka perlu kiranya ditetapkan rumusan masalah sebagai berikut :
a.   Apa pengertian dari Emosi?
b.   Apa saja Tahap-tahap Perkembangan Emosi Anak?
c.   Apa saja Macam-Macam laporan?
d.   Apa saja Faktor yang mempengaruhi emosi?
e.  Bagaimana Pola perkembangan emosi anak taman kanak-kanak?
f.  Apa saja Dampak Positif dan Negatif Perkembangan Emosi Anak TK/RA?
g.   Bagaimana Emosi Anak TK/RA?
h.   Apa Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK/RA?
i.    Apa saja Karakteristik Perkembangan Sosial Anak TK/RA?
j.    Bagaimana Pola Perkembangan Sosial Anak TK/RA?
k.  Apa saja Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak TK/RA?
3.      Tujuan Penulisan
Sesuai dengan rumusan masalah di atas,maka tujuan penyusunan makalah ini adalah sebagai berikut :
a)    Mengetahui Pengertian dari Emosi
b)   Mengetahui Tahap-Tahap Perkembangan Emosi Anak
c)   Mengetahui Macam-Macam laporan
d)   Mengetahui Faktor Yang Mempengaruhi Emosi
e)    Mengetahui Pola Perkembangan Emosi Anak Taman Kanak-Kanak/RA
f)     Mengetahui Dampak Positif dan Negatif Perkembangan Emosi Anak TK/RA
g)    Mengetahui Emosi Anak TK
h)    Mengetahui Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK/RA
i)     Mengetahui Karakteristik Perkembangan Sosial Anak TK/RA
j)     Mengetahui Pola Perkembangan Sosial Anak TK/RA
k)    Mengetahui Faktor-Faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak TK/RA
4.      Sistematika
Makalah ini disusun dalam format 4 (empat) bab yang masing-masing berisi hal-hal sebagai berikut :
1.    Bab 1, yaitu pendahuluan, berisikan : ( 1 ) latar belakang masalah,( 2 ) rumusan masalah, ( 3 ) tujuan penyusunan masalah, dan ( 4 ) sistematika penyusunan makalah.
2.    Bab 2, yaitu uraian mengenai pembahasan perkembangan emosi anak Taman Kanak Kanak
3.    Bab 3, yaitu uraian mengenai pembahasan Perkembangan Sosial anak Taman Kanak Kanak
4.    Bab 4, yaitu penutup berisikan beberapa kesimpulan sederhana mengenai hal-hal yang diformulasikan dalam rumusan masalah.

BAB II
PERKEMBANGAN EMOSI ANAK TK/RA
1.      Pengertian Emosi
Emosi berasal dari kata emetus atau emovere  yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti, 2001: 1) “emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Bigot (Suryabrata, 1984: 30) membagi emosi atau perasaan atas :
1.    Perasaan Jasmaniah (rendah)
a.    Perasaan indriati, yaitu persaaan-perasaan yang berhubungan dengan perangsangan terhadap pancaindera, seperti; sdap, manis, asin, pahit, panas dan sebagainya.
b.    Perasaan vital, yaitu perasan-peasaan yang berhubungan dengn keadaan kasmani pada umumnya, seperti; perasaan segar, letih, sehat, lemah, tidak berdaya, dan sebagainya
2.    Perasaan Rohani
a.    Perasaan intelektual, yaitu perasaan yang bersangkutan dengan kesanggupan intelek (pikiran dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi.
b.    Perasaan kesusilaan atau perasaan etis, ialah perasaan yang berhubungan dengan baik atau buruk. Tiap orang mempunyai ukuran baik buruk sendiri-sendiri yang bersifat individual yang sering disebut norma individual.
c.    Perasaan keindahan, yaitu perasaan yang menyertai atau timbul karena manusia, perasaan untuk hidup bermasyarakat dengan sesama manusia; untuk bergaul, saling tolong menolong, memberi dan menerima simpati dan antipati, rasa setia kawan, dan sebagainya.
d.    Perasaan sosial, ialah perasaan yang mengikatkan individu dengan sesama manusia, perasaan untuk hidup bemasyarakat.
e.    Perasaan harga diri, dapat dibedakan atas dua macam, yaitu perasaan harga diri positif, misalnya perasaan puas, senang gembira, bangsa yang dialami seseorang yang mendapatkan penghargaan. Sedangkan perasaan harga diri negatif, misalnya kecewa, tidak senang, tidak berdaya kalau seseorang mendapat celaan, dimarahi, mendapatkan hukuman, dan sebagainya.
f.     Perasaan keagamaan, yaitu perasaan yang bersangkut paut dengan kepercayaan seseorang tentang adanya Yang Maha Kuasa, misalnya rasa kagum akan kebesaran tuhan, rasa syukur setelah terlepas dari bahaya secara ajaib dan sebagainya.
2.      Tahap-tahap Perkembangan Emosi Anak
Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf. “Perkembangan emosi menempuh beberapa tahap beriring dengan pertumbuhan dan perkembangan anak”.(Martoenoes, 1998: 55)
Secara umum Semiawan (2002: 11) membagi perkembangan anak dalam berbagai tahap, dalam uraiannya dikatakana bahwa :
Kemampuan untuk berkembang tahap demi tahap seperti : 1) fase sensoris motor berkembang pada usia 0 – 2 tahun. Fase ini berkembang sensoris motor terdiri dari motorik kasar dan motorik halus/panca indera harus berkembang dengan sempurna. Sentuhan kasih sayang orang tua sangat bermakna pada fase ini. 2) fase prekonkrit operasional (usia 3 – 6). Pada fase ini perkembangan bahsa anak sangat pesat. 3) fase konkrit operasional berkembang pada usia 6/7 tahun s/d 11/12 tahuhn. Pada fase ini rasa ingin tahu anak besar sekali. Anak akan sangat mudah memahami jika diberikan data yang nyata kegiatan proses berfikir mulai nyata. 4) fase berfikir abstrak (usia 12 tahun ke atas). Pada fase anak telah berhasil menyelesaikan hal-hal yang abstrak seperti penerapan rumus, simbol, dan lain-lain.
Kutipan di atas menunjukkan bahwa terdapat fase-fase perkembangan kemampuan anak. Pada setiap fase kesemuanya proses kesinambuangan yang saling berhubungan dan menentukan fase-fase berikutnya. Proses belajar yang berbeda, juga pengaruh gen yang dibawah menyebabkan adanya perbedaan tiap individu dalam kontesk kemampuannya. Hal ini menyebabkan adanya anak yang kecenderungan emosional dan tidak emosional (Kohlberg, 1995: 77).
Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada. “Gejala pertamanya ialah keterangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi” (Rosjidan.1996: 39). Meskipun deemikian, pada saat lahir bayi sudah tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana yang mengesankan tentang kesenangan dan ketidaksenangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekoyong-koyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang dingin pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbuilnya tangisan dan aktivitas besar. Sebaliknya, reaksi yang menyenangkan tampak jelas takkala bayi menetek. Reaksi semacam itu juga dapat diperoleh dengan cara mengayun-ngayunnya, menepuk-nepuknya, memberikannya kehangatan, dan memopongnya dengan mesra. Rasa senang pada bayi dapat dilihat dari reaksi yang menyeluruh pada tubuhnya, dan dari suara yang menyenangkan berupa mendekut.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi; perlawanan, melemparkan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, berbunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat sedangkan reaksi gerakan otot berkurang (Pratidarmanastiti, 1991: 66).
Meskipun pola perkembangan emosi dapat diramalkan, tetapi variasi dalam segi frekuensi, intensitas serta jangka waktu dari berbagai macam emosi dan juga usia pemunculannya. Variasi sudah mulai terlihat sebelum bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatnya usia anak (Budiningsih, 1984: 33).
Dengan meningkatnya usia anak, semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena mereka harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, meskipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan, taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai. (Masri, 1974: 66)
3.      Faktor Yang Mempengaruhi Emosi
“Hasil dari berbagai situasi menunjukkan bahwa perkembangan emosi anak bergantung sekaligus pada faktor maturasi dan faktor belajar” (Sunarti, 2001: 8). Maturasi dan belajar berjalin erat dalam mempengaruhi perkembangan emosi sehingga pada saatnya akan sulit untuk menentukan dampak relatifnya.
1.      Faktor Maturasi
Perkembangan intelektual menghasilkan kemampuan untuk memahami makna yang sebelumnya tidak dipahami, memperlihatkan rangsangan dalam jangka waktu yang telah lama, dan memutuskan ketegangan emosi dalam satu obyek. Demikian pula kemampuan mengingat dan menduga mempengaruhi reaksi emosional. Dengan demikian anak-anak menjadi reaktif terhadap rangsangan yang tadinya tidak mempengaruhi mereka pada usia yang lebih muda (Ahmasi, 1990: 88).
Perkembangan kelenjer endokrin perlu untuk mematangkan perilaku emosional. Bayi secara relatif kekurangan produksi kelenjar endokrin yang diperlukan untuk menopang rekasi fisiologi terhadap sters. Kelenjar adrenalin memainkan peran utama pada emosional mengecil secara tajam segera setelah bayi lahir. Tidak lama kemudian kelenjar itu mulai membesar lagi, dan membesar dengan pesat sampai anak berusia lima tahun, pembesarannya melambat pada usia 5 dan usia 11 tahun, dan membesar lebih pesat lagi sampai anak berusia 16 tahun pada usia 16 tahun kelenjar tersebut mencapai kembali ukuran semula seperti pada saat anak lahir.
2.      Faktor Belajar
Ada beberapa metode yang menunjang perkembangan emosi anak, antara lain :
a.    Tiral and error learning; anak  belajar secara coba-coba untuk mengekspresikan emosi dalam bentuk perilaku yang memberikan pemuasan terbesar kepadanya dan menolak perilaku yang memberikan pemuasan sedikit atau sama sekali tidak memberikan pemuasan.
 b.   Leraning by initation, belajar dengan cara meniru sekaligus mempengaruhi aspek rangsangan dan aspek reaksi.
c.    Learning by identification, belajar dengan cara menidentifikasi diri sama dengan belajar menirukan.
d.    Conditioning; dalam metode ini obyek dan situasi yang pada umumnya gagal memancing reaksi emosional kemudian dapat berhasil dengan cara asosiasi.
e.    Training; pelatihan atau belajar dengan bimbingan dan pengawasan, terbatas pada aspek reaksi
4.    Pola Perkembangan Emosi Anak Taman Kanak-Kanak
Emosi sangat memainkan peranan penting dalam kehidupan, meskipun demikian sangat sukar mempelajari perkembangan emosi anak, karena informasi tentang aspek emosi yang subyektif hanaya dapat diperoleh dengan cara introspeksi, sedangkan anak tidak dapat menggunakan cara tersebut dengan baik karena mereka masih berusia sangat mudah.
“Ketika bayi baru lahir, kemampuan untuk bereaksi secara emosional sudah ada” (Suhartin R.I. 1984). Gejala utamanya ialah keterangsangan umum yang berlebih-lebihan dan tercermin pada aktivitas bayi. Meskipun demikian, pada saat bayi lahir tidak memperlihatkan reaksi yang secara jelas dapat dinyatakan sebagai keadaan emosi yang spesifik.
Sebelum melewati masa neonate, keterangan umum pada bayi yang baru lahir dapat dibedakan menjadi reaksi yang sederhana  yang mengesankan tentang kesenangann dan ketidak senangan. Reaksi yang tidak menyenangkan dapat diperoleh dengan cara mengubah posisi secara tiba-tiba, sekonyong-konyong membuat suara keras, merintangi gerakan bayi, membiarkan bayi tetap mengenakan popok yang basah, dan menempelkan sesuatu yang pada kulitnya. Rangsangan semacam itu menyebabkan timbulnya tangisan dan aktivitas besar.
Seiring dengan meningkatnya usia anak, reaksi emosional mereka menjadi kurang menyebar, kurang sembarangan, dan lebih dapat dibedakan. Sebagai contoh, anak yang lebih muda memperlihatkan ketidaksenangan semata-mata hanya dengan menjerit dan menangis. Kemudian reaksi mereka semakin bertambah yang meliputi perlawanan, pelemparan benda, mengejangkan tubuh, lari menghindar, bersembunyi, dan mengeluarkan kata-kata. Dengan bertambahnya umur anak, maka reaksi yang berwujud bahasa meningkat sedangkan reaksi gerakan otot berkurang.
Meskipun pola perkembangan emosi anak dapat diramalkan, tetapi terdapat variasi dan juga pemunculannya. Viriasi sudah mulai terlihat sebelum masa bayi berakhir dan semakin sering terjadi dan lebih menyolok dengan meningkatkan usia kanak-kanak.
Dengan meningkatnya emosi anak, semua emosi diekspresikan secara jelas lunak karena harus mempelajari reaksi orang lain terhadap luapan emosi yang berlebihan, sekalipun emosi itu berupa kegembiraan atau emosi yang menyenangkan lainnya. Variasi disebabkan oleh keadaan fisik anak pada saat itu dan taraf kemampuan intelektualnya serta kondisi lingkungan. Anak yang sehat cenderung kurang emosional dibandingkan dengan anak yang kurang sehat. Demikian juga anak yang pandai bereaksi lebih emosional terhadap berbagai macam rangsangan dibandingkan dengan anak-anak yang kurang pandai.
5.      Dampak Positif dan Negatif Perkembangan Emosi Anak TK
Perkembangan emosi anak TK, dapat bedampak positif dan negatif. Masing-masing aspek ini memiliki peluang yang sama. Oleh karenanya diperlukan pengetahuan yang mendasar tentang perkembanganemosi anak agar dampak negatif dapat dieleminir.
a.        Dampak Positif
Emosi apabila diarahkan dengan baik, maka akan dapat menjadikan anak tersebut dapat berkembang dengan baik. Perkembangan emosi yang baik akan mengantarkan anak tersebut dapat mengembangkan kemampuah imajinasi, intelektual dan lain sebagainya.
b.        Dampak Negatif
Demikian pula perkembangan emosi anak juga dapat bedampak negatif pada perkembangan anak. Hal ini dapat menyebabkan kertelantaran emosi, seperti anak tidak cukup mendapatkan pengalaman emosional yang menyenangkan, terutama keingintahuan, kegembiraan, kebahagiaan, dan kasih sayang. Akibatnya, anak akan mengalami keterlambatan pertumbuhan dan perkembangan normal, anak biasanya telambat untuk berbuat lebih baik lagi sesuai dengan umurnya, perkembangan bicara terlambat, perkembangan intelektual terlambat.
6.      Emosi Anak TK
Emosi anak TK berbeda dengan emosi dengan anak yang lebih tua atau orang dewasa karena adanya faktr maturasi dan belajar. Ciri khas emosi anak yang membuatnya berbeda dari emosi dewasa menurut Sunarti (2001: 11), yaitu :
Ø  Emosi yang kuat; anak kecil bereaksi dengan intensitas yang sama baik terhadap situasi remeh maupun serius.
Ø  Emosi sering kali tampak, anak sering kali memperlihatkan emosi mereka meningkat dan mereka menjumpai bahwa ledakan emosional sering kali mengakibatkan hukuman, mereka belajar untuk menyesuaikan diri dengan situasi yang membangkitkan emosi. Kemudian mereka mengekang ledakan emosi mereka atau bereaksi dengan cara yang lebih dapat diterima.
Ø Emosi bersifat sementara, peralihan yang cepat pada anak-anak kecil dari tertawa kemudian menangis atau dari marah ke tersenyum, atau dari cemburu ke rasa sayang, merupakan akibat dari tiga faktor.

BAB III
PERKEMBANGAN SOSIAL ANAK TAMAN KANAK-KANAK
1.      Pengertian Perkembangan Sosial Anak TK
Menurut Hurlock (Sujanto, 1996: 38) perkembangan sosial usia prasekolah berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Kemampuan anak menyesuaikan diri dalam lingkungan TK memerlukan tiga proses yaitu; 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, 3) perkembangan sosial untuk bergaul dengan baik.
2.      Karakteristik Perkembangan Sosial Anak TK
Sebagaimana perubahan pada fisik dan kognitif, anak mengalami perubahan pada kepribadiannya. Terdapat beberapa macam pendekatan tentang hal ini, yaitu pendekatan psikoanalisis klasik yang meliputi pendekatan Freudian maupun neo-Freudian. “Pendekatan psikoanalisis klasik ini lebih menekankan pada aspek psikoseksual seorang individu, di mana perkembangan yang terjadi digerakkan yang mempengaruhi tiga komponen kepribadian yaitu ego, id dan superego” (Pudjosuwano, 1984: 56).
Pendekatan yang kedua adalah pendekatan interpersonal, di mana individu dilihat sebagai suatu makhluk sosial yang dibentuk oleh lingkungan budaya dan interpersonal. Perkembangan sosial seseorang dilihat pada interaksi yang terjadi antara individu yang sedang berkembang dengan teman sebaya, orang tua, sahabat, musuh, dan masyarakat sekitar. Interaksi yang terjadi merupakan suatu pertukaran cinta, kasih sayang dan perhatian.
Pendekatan yang ketiga adalah pendekatan epigenesis, di mana tahapan perkembangan yang terjadi tidak berdiri sendiri-sendiri, namun tahapan perkembangan sebelumnya menjadi fondasi bagi tahapan perkembangan berikutnya.
Menurut Snowman (Sunarti, 2001: 40) mengemukakan ciri-ciri usia prasekolah di TK meliputi 1) Umumnya anak pada usia ini memiliki teman satu atau dua sahabat, tetapi cepat tergant, 2) kelompok bermain cenderung lebih kecil, 3) Anak yang lebih muda sering kali bermain bersebelahan dengan anak yang lebih besar, 4) pola bermain yang variatif sesuai dengan kelas sosial dan gender. 5) telah menyadari pesan jenis kelamin.
3.      Pola Perkembangan Sosial Anak TK
“Aktivatas kehidupan anak pada tingkat perkembangan sosial usia prasekolah yang berlangsung antara umur lima sampai dengan enam tahun”(Sujanto, 1996: 40). Kebanyakan bukan lagi dalam rumah bersama orangtua dan saudara-saudaranya, tetapi di luar rumah dengan teman sebaya dan bahkan dengan orang dewasa lainnya. Pada saat ini anak akan memasuki sekolah, oleh karena itu, hubungan sosial dengan teman sebaya makin bertambah luas.
Pada masa ini perhatian anak terhadap teman sebaya sangat tinggi. Anak sangat membutuhkan untuk diterima oleh kelompok teman sebaya, terutama kelompok yang dipandang bergengsi.
4.      Faktor-faktor yang mempengaruhi Perkembangan Sosial Anak TK
1).   Fakto Pendukung
Menurut Sunarti (2001: 48) bahwa faktor pendukung perkembangan sosial usia prasekolah yaitu; 1) sifat altruistik, 2) Kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain.
a.       Sifat Altruistik
Sifat altruistik adalah gejala tingkah laku di mana anak lebih cenderung mengutamakan kepentingan orang lain daripada kepentingan diri sendiri atau menyayangi orang lain terutama yang lemah atau binatang.
b.       Kesadaran tentang diri sendiri dan orang lain
Aspek penting lainnya yang dimiliki anak untuk mengembangkan tingkah laku sosialnya adalah timbulnya kesadaran dalam memahami suasana hati orang lain. Kesadaran akan memahami orang lain ini dikuasai karena dalam diri anak telah tumbuh kemampuan untuk empati  dan role taking.
2).   Faktor Penghambat
Menurut Sunarti (2001: 54) bahwa “kecenderungan bawaan dapat menimbulkan kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan harapan sosial. seorang anak laki-laki dengan tubuh yang kecil dan otot yang lemah tidak mampu menyesuaikan diri dalam suatu budaya yang menganggap ideal tubuh yang sempurna sperti atlit.

BAB IV
KESIMPULAN dan SARAN
1.      Kesimpulan
Emosi berasal dari kata emetus atau emovere  yang berarti mencerca, yaitu sesuatu yang mendorong terhadap sesuatu. Menurut Crow & Crow (Sunarti, 2001: 1) “emosi merupakan suatu keadaan yang bergejolak dalam diri individu yang berfungsi atau berperan sebagai inner adjustment terhadap lingkungan untuk mencapai kesejahteraan dan keselamatan individu”. Emosi merupakan gejala psikis yang bersifat subjetif yang umumnya berhubungan dengan gejala-gejala mengenai dan dialami dalam kualitas senang atau tidak senang dalam berbagai taraf.
Menurut Hurlock (Sujanto, 1996: 38) perkembangan sosial usia prasekolah berarti perolehan kemampuan berperilaku yang sesuai dengan tuntutan sosial. Kemampuan anak menyesuaikan diri dalam lingkungan TK memerlukan tiga proses yaitu; 1) belajar berperilaku yang dapat diterima secara sosial, 2) memainkan peran sosial yang dapat diterima, 3) perkembangan sosial untuk bergaul dengan baik.
2.      Saran
Agar mengetahui lebih jauh mengenai perkembangan anak, khususnya perkembangan Emosi dan Sosial pada anak Taman Kanak-Kanak, penulis menyarankan kepada pembaca sekalian untuk mempelajarinya lebih jauh, khususnya bagi para ibu, orang tua, guru, rekan-rekan mahasiswa, dan lebih-lebih kepada Yang Terhormat Dosen Pembimbing atau Pengampu Mata Kuliah ini yaitu Bapak Hanif Ibnu M,  M. Pd. sangat kami harapkan. Hal ini mungkin bisa membantu dalam memahami dan mempelajari perkembangan emosi dan sosial  pada anak Taman Kanak-Kanak.
Di luar daripada itu, karena banyaknya kekurangan dalam penulisan makalah ini, penulis mengharapkan kritik maupun saran dari pembaca yang budiman, semoga bermanfaat bagi kita semua.
Akhirnya, kami ucapkan terima kasih atas perhatian dan dukungannya.


DAFTAR PUSTAKA
Ahmasi, 2004. Pendidikan di Lingkungan Keluarga. Jawara: Surabaya
Depdikbud. 1995. Fungsi Keluarga  Dalam Meningkatkan Kwalitas Sumber Daya Manusia di Daerah Sulawesi Selatan.  Depdikbud : Ujung Pandang.
Hardiman, B. 1997. Pendidikan Moral sebagai Pendidikan Keadilan. Basis Andi Offset, Yogyakarta.
Kanto, Kullasse, 1998. Psikologi Perkembangan. FIP UNM
Masri, A.W. 1999. Paradigma Psikologi Sosial. Jakarta:  Yayasan Penerbit FIP IKIP Jakarta.
Rosjidan.1996. Pendidikan Keluarga Indonesia Sejahtera di Tinjau dari Segi Pendidikan. Makalah. Ujung  Pandang. Disampaikan  pada Konvensi Nasional Pendidikan Indonesia III.
Shochib, Moh, 1998. Pola Asuh Orang Tua. Rineka Cipta. Jakarta
Soelamana, 1999. Keluarga Sebagai Pendidikan Pertama dan Utama. Surabaya: Papirus
Suhartin R.I. 1999. Cara Mendidik Anak dalam  Keluarga Masa Kini. Jakarta: Bharata Karya Aksara.
Sunarti Kustiah. 2001. Psikologi Perkembangan. FIP UNM

Sabtu, 18 Agustus 2012

PENDIDIKAN


PELATIHAN GURU UNTUK PENGEMBANGAN PROFESI

A.Pelatihan untuk Perubahan
Kegiatan pelatihan bagi guru pada dasarnya merupakan suatu bagian yang integral dari manajemen dalam bidang ketenagaan di sekolah dan merupakan upaya untuk mengembangkan pengetahuan dan keterampilan guru sehingga pada gilirannya diharapkan para guru dapat memperoleh keunggulan kompetitif dan dapat memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya. Dengan kata lain, mereka dapat bekerja secara lebih produktif dan mampu meningkatkan kualitas kinerjanya. Alan Cowling & Phillips James (1996:110) memberikan rumusan pelatihan sebagai: “perkembangan sikap/pengetahuan/keterampilan pola kelakuan yang sistematis yang dituntut oleh seorang karyawan (baca : guru) untuk melakukan tugas atau pekerjaan dengan memadai”
Dengan meminjam pemikiran Sondang Siagian (1997:183-185) ,di bawah ini akan dikemukakan tentang manfaat penyelenggaraan program pelatihan, baik untuk sekolah maupun guru itu sendiri.
Bagi sekolah setidaknya terdapat tujuh manfaat yang dapat dipetik, yaitu: (1) peningkatan produktivitas kerja sekolah sebagai keseluruhan; (2) terwujudnya hubungan yang serasi antara atasan dan bawahan; (3) terjadinya proses pengambilan keputusan yang lebih cepat dan tepat; (4) meningkatkan semangat kerja seluruh tenaga kerja dalam prganisasi dengan komitmen organisasional yang lebih tinggi; (5) mendorong sikap keterbukaan manajemen melalui penerapan gaya manajerial yang partisipatif; (6) memperlancar jalannya komunikasi yang efektif; dan (7) penyelesaian konflik secara fungsional.
Sedangkan manfaat pelatihan bagi guru, diantaranya : (1) membantu para guru membuat keputusan dengan lebih baik; (2) meningkatkan kemampuan para guru menyelesaikan berbagai masalah yang dihadapinya; (3) terjadinya internalisasi dan operasionalisasi faktor-faktor motivasional; (4) timbulnya dorongan dalam diri guru untuk terus meningkatkan kemampuan kerjanya; (5) peningkatan kemampuan guru untuk mengatasi stress, frustasi dan konflik yang pada gilirannya memperbesar rasa percaya pada diri sendiri; (6) tersedianya informasi tentang berbagai program yang dapat dimanfaatkan oleh para guru dalam rangka pertumbuhan masing-masing secara teknikal dan intelektual; (7) meningkatkan kepuasan kerja; (8) semakin besarnya pengakuan atas kemampuan seseorang; (9) makin besarnya tekad guru untuk lebih mandiri; dan (10) mengurangi ketakutan menghadapi tugas-tugas baru di masa depan.
Selanjutnya, pada bagian lain Alan Cowling & Phillips James (1996:110) mengemukakan pula tentang apa yang disebut learning orgazanizaton atau organisasi yang mau belajar. Dalam hal ini organisasi diperlakukan sebagai sistem (suatu konsep yang akrab disebut systems theory) yang perlu menanggapi lingkungannya agar tetap hidup dan makmur. Menurut pandangan ini, sebuah organisasi akan mengembangkan suatu kemampuan untuk menanggapi perubahan-perubahan di dalam lingkungannya, yang memastikan bahwa trasformasi internal terus-menerus terjadi.
Dengan demikian, suatu organisasi atau sekolah yang mau belajar dapat dikatakan sebagai suatu organisasi yang memberikan kemudahan kepada anggotanya untuk melakukan proses belajar dan terus-menerus mengubah dirinya sendiri. Salah satu wujud sekolah sebagai learning organization adalah adanya kemauan belajar dari para guru untuk senantiasa meningkatkan kemampuannya, dan salah satunya melalui kegiatan pelatihan. Dengan demikian, upaya belajar tidak hanya terjadi pada kalangan siswa semata.

B. Langkah-Langkah Pelatihan
Agar kegiatan pelatihan yang diselenggarakan oleh suatu sekolah benar-benar dapat memberikan manfaat bagi kemajuan guru maupun bagi organisasi itu sendiri, maka perlu ditempuh beberapa langkah dalam suatu kegiatan pelatihan.
Alan Cowling & Phillips James (1996:110) mengemukakan tentang pendekatan yang sistematis dalam pelatihan meliputi empat tahap, yang mencakup : tahap I: mengenali kebutuhan-kebutuhaan, tahap II: merencanakan untuk memenuhi kebutuhan – kebutuhan itu, tahap III: Pelaksanaan dan Tahap IV: evaluasi.
Sementara itu, Sondang Siagian (1997:185-203) memaparkan tujuh langkah dalam kegiatan pelatihan, yaitu : (1) Penentuan kebutuhan; (2) Penentuan sasaran; Penetapan Program; (3) Identifikasi isi program; (4) Identifikasi prinsip-prinsip belajar; (5) Pelaksanaan program; (6) Identifikasi manfaat; dan (7) Penilaian pelaksanaan program.
Dengan mengacu kepada kedua pemikiran di atas, berikut ini akan diuraikan tentang tahapan-tahapan dalam kegiatan pelatihan, yang mencakup: (1) penentuan kebutuhan; (2) penentuan sasaran; (3) penentuan program; (4) penerapan prinsip-prinsip belajar; dan (5) penilaian kegiatan.

1. Penentuan Kebutuhan
Penentuan kebutuhan merupakan langkah awal yang amat penting untuk dilakukan . Oleh karena itu perlu dilakukan analisis kebutuhan secara cermat. Dengan melalui analisis kebutuhan yang cermat dapat diyakinkan bahwa kegiatan pelatihan memang benar-benar perlu dilakukan, jadi tidak hanya sekedar proyek yang sifatnya diada-adakan, tanpa hasil dan tujuan yang jelas. Dalam mengidentifikasi kebutuhan akan pelatihan, terdapat tiga pihak yang perlu dilibatkan, yaitu :
1.   satuan organisasi (sekolah atau dinas pendidikan) yang mengelola sumber daya manusia yang bertugas mengidentifikasi kebutuhanorganisasi secara keseluruhan, baik untuk kepentingan sekarang maupun dalam kerangka mempersiapkan organisasi menghadapi tantangan masa depan;
2.      para kepala sekolah; karena bagaimanapun mereka merupakan orang-orang yang paling bertanggung jawab atas keberhasilan atau kegagalan satuan-satuan kerja yang dipimpinnya. Dengan demikian, mereka dianggap sebagai orang yang paling mengetahui jenis kebutuhan pelatihan yang diperlukan.
3.    guru yang bersangkutan; banyak sekolah yang memberikan kesempatan kepada para gurunya untuk mencalonkan diri sendiri mengikuti program pelatihan tertentu. Titik tolak pemberian kesempatan ini ialah bahwa para guru yang sudah matang secara intelektual memiliki kecenderungan untuk menyadari kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam dirinya, sehingga membutuhkan adanya usaha pembelajaran.
Bagaimanapun kegiatan pelatihan merupakan beban anggaran tersendiri yang harus dipikul oleh sekolah. Oleh karena itu, jika kegiatan pelatihan dilakukan tanpa adanya analisis kebutuhan secara cermat, pada akhirnya dikhawatirkan tidak akan memberikan manfaat apa pun bagi guru atau pun bagi sekolah. Dengan sendirinya, yang semula pelatihan dimaksudkan untuk kepentingan efektifvitas dan efisiensi, malah terbalik menjadi kegiatan yang hanya pemborosan saja.
2. Penentuan Sasaran
Berdasarkan analisis kebutuhan selanjutnya dapat ditetapkan berbagai sasaran yang ingin dicapai dari suatu kegiatan pelatihan, baik yang bersifat teknikal maupun behavioral. Bagi penyelenggara, penentuan sasaran ini memiliki arti penting sebagai: (1) tolok ukur kelak untuk menentukan berhasil tidaknya program pelatihan; (2) bahan dalam usaha menentukan langkah selanjutnya, seperti menentukan isi program dan metode pelatihan yang sesuai.
Sedangkan bagi peserta penentuan sasaran bermanfaat dalam persiapan dan usaha apa yang seyogyanya mereka lakukan agar dapat memperoleh manfaat yang sebesar-besarnya dari kegiatan pelatihan yang diikutinya.
3. Penentuan Program
Setelah dilakukan analisis kebutuhan dan ditetapkan sasaran yang ingin dicapai, selanjutnya dapat ditetapkan program pelatihan. Dalam penentuan program terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan yakni berkenaan dengan jawaban dari beberapa pertanyaan berikut:
·           Kemampuan apa yang hendak dicapai?
·           Materi apa yang perlu disiapkan?
·           Kapan waktu yang terbaik untuk dilaksanakan pelatihan?
·           Dimana tempat yang paling memungkinkan untuk dilaksanakan pelatihan?
·           Berapa biaya yang dibutuhkan untuk pelaksanaan pelatihan?
·           Siapa yang paling tepat untuk ditunjuk sebagai instruktur?,  dan
·           Bagaimana pelatihan itu sebaiknya dilaksanakan?
Jawaban pertanyaan-pertanyan ini pada intinya merujuk kepada efektivias dan efisiensi kegiatan pelatihan yang akan dilaksanakan.
4. Penerapan Prinsip-Prinsip Belajar
Agar pelatihan ini dapat mencapai sasaran atau tujuan yang diharapkan, maka kegiatan pelatihan berlangsung seyogyanya dapat memperhatikan dan menerapkan sejumlah prinsip belajar. Dalam hal ini Nasution (Daeng Sudirwo,2002) mengetengahkan tiga belas prinsip dalam belajar, yakni :
1.      Agar-agar seorang benar-benar belajar, ia harus mempunyai suatu tujuan.
2.      Tujuan itu harus timbul dari atau berhubungan dengan kebutuhan hidupnya dan bukan karena dipaksakan oleh orang lain.
3.      Orang itu harus bersedia mengalami bermacam-macam kesulitan dan berusaha dengan tekun untuk mencapai tujuan yang berharga baginya.
4.         Belajar itu harus terbukti dari perubahan kelakuannya.
5.   Selain tujuan pokok yang hendak dicapai, diperolehnya pula hasil sambilan. Misalnya tidak hanya bertambah keterampilan pekerjaannya saja, tetapi juga memperoleh minat yang lebih besar dalam bidang yang ditekuninya.
6.         Belajar lebih berhasil dengan jalan berbuat atau melakukan.
7.    Seseorang belajar sebagai keseluruhan, tidak hanya aspek intelektual namun termasuk pula aspek emosional, sosial, etis dan sebagainya.
8.         Seseorang memerlukan bantuan dan bimbingan dari orang lain.
9.      Untuk belajar diperlukan insight. Apa yang dipelajari harus benar-benar dipahami. Belajar bukan sekedar menghafal fakta lepas secara verbalistis.
10.  Disamping mengejar tujuan belajar yang sebenarnya, seseorang sering mengejar tujuan-tujuan lain. Misalnya, disamping memperoleh keterampilan dari apa yang diberikan dalam pelatihan. Juga, seseorang memiliki tujuan lain, seperti promosi jabatan, kepercayaan dari atasan dan sebagainya.
11.     Belajar lebih berhasil, apabila usaha itu memberi sukses yang menyenangkan.
12.     Ulangan dan latihan perlu akan tetapi harus didahului oleh pemahaman.
13.     Belajar hanya mungkin kalau ada kemauan dan hasrat untuk belajar.
5. Penilaian Pelaksanaan Program
Pelaksanaan suatu program dapat dikatakan berhasil jika dalam diri peserta tersebut terjadi suatu proses transformasi. Proses transformasi dapat dinyatakan berlangsung dengan baik apabila terjadi paling sedikit dua hal, yaitu :
1.      peningkatan kemampuan dalam melaksanakan tugas
2.      perubahan perilaku yang tercermin pada sikap, disiplin, dan etos kerja.
Untuk mengetahui terjadi tidaknya perubahan tersebut dilakukan penilaian, baik yang berkenaan dengan aspek teknis maupun behavioral. Dengan demikian, bahwa penilaian harus diselenggarakan secara sistematis, dengan-langkah sebagai berikut:
1.         penentuan kriteria keberhasilan yang ditetapkan sebelum program pelatihan diselengggarakan
2.    penyelenggaraan pre-test untuk mengetahui tingkat pengetahuan, keterampilan, dan kemampuan para guru sekarang, guna memperoleh informasi tentang program pelatihan apa yang tepat diselenggarakan.
3.     pelaksanaan ujian pasca pelatihan untuk melihat apakah memang terjadi transformasi yang diharapkan atau tidak dan apakah transformasi tersebut tercermin dalam pelaksanaan pekerjaan masing-masing guru.
4.      tindak lanjut yang berkesinambungan. Salah satu ukuran tolok ukur penting dalam menilai berhasil tidaknya suatu program pelatihan ialah apabila transformasi yang diharapkan memang terjadi untuk kurun waktu yang cukup panjang di masa depan, tidak hanya segera setelah program tersebut selesai diselenggarakan
=============
SUMBER BACAAN
Alan Cowling & Philip James. 1996. The Essence of Personnel Management an Industrial Relation (terjemahan). Yogyakarta : ANDI
Daeng Sudirwo.2002. Kurikulum Pembelajaran Dalam Rangka Otonomi Daerah, Bandung : Andira
Indriyo Gito Sudarmo dan Agus Mulyono. 1990. Prinsip Dasar Manajemen (edisi 3). Yogyakarta : BPFE.
Robert Bacal .1999. Performance Management. (Alih Bahasa). Jakarta : PT. Gramedia.
Sondang P. Siagian .1991. Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara

Delapan Hal yang Membatalkan Puasa

Delapan Hal Yang Membatalkan Puasa Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, kita juga dituntut untuk menjaga diri da...