Sabtu, 18 Agustus 2012

SEJARAH ISLAM


PERANG SALIB
Pada awalnya Paus Urban II menyatakan 15 Oktober 1095 sebagai keberangkatan Tentara Salib menuju Timur Tengah, tapi kalangan awam sudah tidak sabar menunggu lebih lama lagi setelah dijanjikan dengan berbagai kebebasan, kemewahan dan lainnya. Mereka mendesak Pendeta Ermite (Peter the Hermit) sebagai pelaksana kepemimpinan agar berangkat memimpin mereka.

1. Perang salib pertama (1096) untuk merebut Yerusalem. Pendeta Ermite (Peter the Hermit) pun berangkat dengan 60,000 orang pasukan (1096), kemudian diikuti oleh kaum petani dan miskin yang dipimpin oleh Walter dari Jerman sejumlah 20.000 orang yang berangkat dari Cologne pada bulan Mei dan mencapai Konstatinopel pada bulan Juli, dan datang lagi 200,000 orang yang menjadikan jumlah keseluruhannya 300,000 orang.8 Sepanjang perjalanan, mereka diizinkan merompak, memperkosa, berzina dan mabuk-mabukan. Setiap penduduk negeri yang dilaluinya, akan mengelu-elukan dan memberikan bantuan seperlunya. Anak-anak muda, bangsawan, petani, kaya dan miskin memenuhi panggilan Paus. Di Jerman izin melakukan Perang Salib digunakan untuk melakukan pembantaian terhadap kaum Yahudi lokal, mereka menganggap bahwa sebelum menyerang Muslim yang telah melanggar kekuasaan Jesus di Jerusalem, lebih dahulu menghukum yang terdekat, kaum Yahudi yang para leluhurnya bertanggung jawab atas kematian Jesus. Di Spier pada awal Mei, di Worms dan Mainz bulan berikutnya, dan di Cologne, Trier dan Metz pada bulan Juni, komunitas Yahudi dibantai oleh pasukan Perang Salib saat hendak ke Timur.
Sementara itu, tentara yang berjumlah 300.000 itu, ketika sampai di Hungaria dan Bulgaria, sambutan sangat dingin, menyebabkan pasukan Tentara Salib yang sudah kekurangan makanan ini marah dan merampas harta benda penduduk setempat. Pasukan Jerman juga membantai komunitas Yahudi di Prague saat mereka tiba disana pada bulan Juni. Penduduk asli di dua negara ini tidak tinggal diam. Walau pun mereka sama-sama beragama Kristen, mereka tidak senang dan membalas. Terjadilah pertempuran sengit dan pembunuhan yang mengerikan. Raja Hungaria, Kálmán, berusaha melindungi kaum Yahudi. Pasukan ini juga dihadang oleh kaum Paulicia yang leluhurnya telah diusir ke utara dari Thrace oleh Kaisar Theodora dan anak buahnya; terjadi pertempuran besar dan yang selamat hanya sepertiga pasukan yang kemudian mengungsi ke pegunungan di Semenanjung Thrace (Albania). 3000 pasukan diselamatkan oleh Paus dan dikembalikan ke Konstantinopel, namun ketika sampai disana mereka malah tertarik dengan kemegahan kota dan berniat menjarahnya, akibatnya Kaisar mengirim mereka ke Bosphorus. 7000 pasukan lainnya melanjutkan perjalanan ke Anatolia. Sesampai di Anatolia, pantai Asia Kecil (Turki), pasukan kaum Muslimin yang di pimpin oleh Sultan Kalij Arselan dari Kekaisaran Turki Seljuk telah menyambut mereka dengan hayunan pedang. Maka terjadilah pertempuran sengit antara Tentara Salib dengan pasukan Islam yang berakhir dengan kekalahan di pihak pasukan Tentara Salib itu. Mereka gagal mencapai Baitul Maqdis (Yerusalem).
Setelah Tentara Salib yang dipimpin oleh para Rahib Orthodox yang tidak memiliki strategi perang itu hancur, muncullah Tentara Salib yang terdiri dari pasukan Prancis, Jerman, dan Normandia (Prancis Selatan). Mereka dikomandani oleh Raja Godfrey dari Lorraine Perancis, Bohemund dan Tancred dari Normandy (Utara Perancis), Raymond dari Toulouse (Perancis), dan Robert Baldwin dari Flanders (Belgia). Mereka berkumpul di Konstantinopel dengan kekuatan 150,000 laskar, kemudian menyeberang Selat Bhospuros (bergabung dengan pasukan sebelumnya) dan memenuhi wilayah Islam bagaikan air bah. Pasukan Tentara Muslimin yang hanya berkekuatan 50,000 orang bertahan sekuat tenaga di bawah pimpinan Sultan Kalij Arselan.
Satu persatu kota dan benteng Tentara Muslim jatuh ke tangan Tentera Salib, memaksa Sultan Kalij Arselan berpindah dari satu benteng ke benteng yang lain sambil menyusun kekuatan dan taktik baru. Bala bantuan Tentara Salib datang bertubi-tubi dari negara-negara Eropa. Sedangkan Sultan Kalij Arselan tidak mengharapkan bantuan dari wilayah-wilayah Islam yang lain, kerana mereka sibuk dengan masalah internal masing-masing. Ini menandakan bahwa Byzantium telah merebut kembali apa yang telah dikuasai dari Antioch (barat daya Turki) selama enam tahun.
Tentara Salib terus mengarah ke selatan Turki. Pertempuran di Darylaeum (Eski-Shar) meluas ke tenggara Nicaea sampai akhir 1097. Tentara Salib meraih kemenangan karena Seljuk dalam keadaan lemah. Mereka berhasil memasuki selatan Anatolia (tenggara Turki) dan Torres. Di bawah pimpinan Baldwin, mereka mengepung Edessa, yang penduduk Armenia-nya beragama Kristen. Rajanya, Turus, telah melantik Baldwin untuk menggantikannya setelah ia wafat, sehingga Baldwin dapat menaklukan Ruha di Eddessa pada tahun 1098.
Bohemond menaklukan kaum Muslimin di medan perang Antakiyah (Syria), ibu kota lama Byzantium, pada tanggal 3 Jun 1098 setelah susah payah mengepungnya selama sembilan bulan. Antakiyah termasuk benteng yang sangat kuat karena secara geografs letaknya kedua paling strategis–setelah Konstatinople– dengan gunung-gunungnya yang mengelilingi sebelah utara dan timur, dan sungai yang membatasinya. Jatuhnya Antakiyah dari Yagi Sian (Seljuk) disebabkan oleh perpecahan dimana saat itu Islam sendiri masih sering bertikai, terutama antara Syiah Fatimiyah di Mesir, Sunni Abbasiyah, dan Turki Seljuk di Syria; sehingga pada tahun 1098, Fatimiyah mengambil keuntungan dari kekalahan Seljuk di Antakiyah dengan merebut Jerusalem untuk mereka sendiri, setelah membayar garnisun Seljuk untuk meninggalkan kota.
Selain karena perpecahan internal, kekalahan juga disebabkan oleh lambatnya bantuan dari Salajiqoh Persia (Karbugha) dan terjadinya pengkhianatan di dalam Antakiyah sendiri oleh bangsa Armenia yang sudah tentu memihak kepada Tentera Salib Kristen. Bantuan logistik dan perlengkapan dari Inggris dan armada laut Genoa yang tiba di pelabuhan Suwaida semakin memperkuat Tentera Salib. Di tambah pula kehadiran para ahli ‘peralatan blokade’ perang. Serbuan ini seperti balasan terhadap kaum barbar yang telah menghancurkan Kekaisaran Romawi di Eropa. Mereka dipenuhi perasaan benar sendiri yang menjadi ciri Barat sesudahnya dalam berurusan dengan Timur. Tindakan ini menunjukkan gairah keagamaan dengan merangkak keluar dari abad Kegelapan.
Bahemond telah menunjukan keberaniannya yang luar biasa. Ketika Tentara Salib mengalami krisis dalam pengepungan Antakiyah ini, ia pura-pura bersedia pulang ke Italia. Para tentaranya lalu memintanya untuk tidak ditinggalkan oleh sang pemimpin, terutama pada saat yang sangat kritis, ketika mendapat serangan dari Tentara Seljuk. Ia menuduh panglima Byzantium, Titikios, telah mengkhianati Tentara Salib karena melakukan hubungan rahasia dengan penguasa Seljuk-Turki untuk menghancurkan Tentara Salib. Hal ini menyebabkan kemarahan Tentara Salib. Akhirnya, Tatikios dengan tentaranya melarikan diri melalui pelabuhan Suwaida ke Pulau Cyprus karena takut dibunuh Tentara Salib. Nampaknya kali ini Bahemond berhasil menempatkan dirinya sebagai satu-satunya panglima– setelah mendapat pengalaman menghadapi Tentara Kaisar di Nicaea- sehingga ada alasan untuk tidak menyerahkan Antakiyah kepada Kaisar Byzantium. Di sini nampak persaingan kekuasaan antara Byzantium dan raja Eropa.
Setelah penaklukan Antakiyah (Antioch), Bohemond dapat menguasai daerah-daerah sekitarnya. Ketika Raymond menguasai sebelah barat daya Antakiyah dan tidak mau menyerahkannya kepada Bohemond, hal ini disebabkan karena dia pun mempunyai cita-cita menguasai seluruh Antakiyah. Krisis ini dapat diselesaikan jika Raymond ditugaskan oleh Paus untuk menyerang Jerusalem. Akhirnya, Antakiyah berada di bawah kekuasaan Kristen selama seperempat abad.
Sepanjang perjalanan menuju Palestina, Tentara Salib ini membantai orang-orang Islam. Tentara Jerman juga membunuhi orang-orang Yahudi. Dalam perjalanan ke Jerusalem, Raymond mengadakan hubungan kerja sama dengan amir-amir Arab, antara lain dengan Muwaranah yang memberikan bantuan kepada Tentara Salib. Pemerintah Tripoli dan Beirut (Lebanon) juga memberikan bantuan kepada Tentara Salib, mungkin karena solidaritas agamanya lebih diutamakan daripada tanah airnya, atau tidak suka akan Tentara Seljuk Turki. Rombongan besar ini akhirnya sampai di Baitul Maqdis pada tahun 1099. Mereka langsung melancarkan pengepungan, dan tak lupa melakukan pembantaian. Sekitar lima minggu kemudian, tepatnya 15 Juli 1099, mereka berhasil merebut Baitul Maqdis dari tangan kaum Muslimin. Kota ini akhirnya dijadikan ibukota Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah. Mereka mendirikan negara-negara salib, yakni negara-negara boneka di wilayah-wilayah yang diduduki Tentara Salib. Namun karena kelemahan Byzantium dan perpecahan di kalangan Muslim sendiri, negara-negara boneka ini berkembang sebagai negara-negara Latin yang feodalistis dan tirani, yang menghabisi hampir seluruh penduduk Yahudi dan Muslim.
Kekalahan kaum muslimin Pemerintahan Fatimiyah yang menguasai Jerusalem sudah dapat diramalkan dalam Perang Salib I, karena kota-kota penting yang merupakan pintu gerbang satu-satunya telah berhasil ditawan. Jumlah Tentara Salib jauh lebih banyak daripada Tentara Fatimiyah, yaitu 40.000 orang (20.000 orang merupakan tentara terlatih).
Penaklukan Jerusalem oleh Tentara Salib diwarnai dengan pembantaian yang tidak berperikemanusian, mulai dari para lelaki, perempuan hingga anak-anak Muslim. Mereka juga membantai orang-orang Yahudi dan orang-orang Kristen yang enggan bergabung dengan Tentara Salib. Keganasan Tentara Salib Kristen ini dikutuk dan dikecam oleh para saksi dan penulis sejarah yang terdiri dari berbagai agama dan bangsa.
Akhirnya misi Tentara Salib tercapai, yaitu merebut Jerusalem dan berhasil mendirikan pemerintahan masing-masing, Baldwin memegang tampuk kekuasaan di Edessa (1098), Bohemond menguasai pemerintahan di Antakiyah, dan Godfrey menjadi penguasa di Jerusalem, karena Raymond tidak terpilih menjadi penguasa di sana. Godfrey meninggal dunia dan digantikan saudaranya, Baldwin I, tanpa ada yang menyaingi karena Bohemond ditawan Raja Al-Ghazi Kamusytakin Turki. Walaupun Jerusalem telah dikuasai oleh Tentara Salib sepenuhnya, peperangan di Syam (selatan Palestina) masih berlanjut. Raja Jerusalem menyerahkan kepemimpinan kepada Raymond (1101) untuk menaklukan Tripoli di Syam.
Kaum muslimin di Tripoli dapat mempertahankan pengepungan Tentara Salib selama delapan tahun. Pada tahun 1109, Tripoli akhirnya jatuh ke tangan Tentara Salib, tetapi Raymond tidak sempat menyaksikan kejatuhan kota itu karena meninggal dunia (1105) ketika pengepungan Tripoli mencapai puncaknya. Ia digantikan oleh Wiliam Jordan, yang meninggal dunia pada tahun 1108. William kemudian diganti oleh Bertrand. Pada zaman Bertrand, Tripoli telah berhasil ditaklukan. Kota-kota penting lain yang ditaklukan ialah Arqah (ditaklukan pada tahun 1104) dan Sur (ditaklukan pada tahun 1124).
Selama Perang Salib sudah terlihat kelemahan di pihak Tentara Salib, yaitu perselisihan dan persaingan antara para raja dengan Kaisar Alexius (Byzantium) dan persaingan antar raja itu sendiri, apalagi ketika musuh bersama mereka (Tentara Muslim) sudah tidak berdaya lagi. Kelemahan itu bertambah dengan kembalinya sebagian besar Tentara Salib ke Eropa.
Di pihak lain, kaum muslimin yang menyadari kelemahannya mulai meminta bantuan. Dari selatan, Tentara Salib didesak oleh Angkatan Perang Mesir sehingga Ar-Ramlah berhasil ditaklukan pada tahun 1102 melalui pertempuran yang hebat. Dari utara mereka mendapat serangan dari kerajaan-kerajaan Atabek yang didirikan di atas reruntuhan dinasti Seljuk, antara lain Atabek al-Mausal yang dipimpin oleh Imadiddim Zangi pada tahun 1127.
Ia mampu menahan perluasan kekuatan Tentara Salib, bahkan mampu menyerang wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen satu per satu, sehingga Edessa dapat ditaklukan lagi pada tahun 1144. Edessa dianggap oleh penganut Kristen sebagai salah sebuah kota suci. Oleh sebab itu, di sana didirikan sebuah biara yang besar. Ketika Imaduddin dan Tentaranya memasuki daerah itu, mereka tidak menghukum atau bertindak kejam terhadap semua orang Kristen, kecuali yang ikut berperang dan membantu Tentara Salib Jerman. Imaduddin dibunuh oleh Tentaranya sendiri ketika sedang melakukan operasi di Kalat-Jabir.
Puteranya, Nuruddin Zangi, kemudian menggantikannya dan menjadikan Aleppo (kini Tel Aviv) sebagai pusat pemerintahannya.

2. Pada perang salib kedua (1147-1149) pasukan salib berusaha merebut wilayah-wilayah di sepanjang pantai laut tengah, baik yang dikuasai muslim maupun bukan, seperti misalnya wilayah Athena, Korinthia dan beberapa pulau-pulau Yunani.
Perang Salib II terjadi pada masa Nuruddin memimpin. Pada masa ini, Paus Eugenius III memilih seorang dari pendeta, Pendeta Bernand dari Clairvaux, untuk membakar semangat orang-orang Eropa untuk mengangkat pedang membantu Tentara-Tentara Perang Salib Pertama di Timur setelah jatuhnya Edessa ke tangan Muslim pada tahun 1144. Pendeta ini berhasil mempengaruhi Louis VII (raja Perancis), dan Conrand III (raja Jerman), untuk memimpin serangan baru menyelamatkan wilayah Kristen di Syam itu. Baron-baron dari kedua negara itu turut serta mengikuti jejak raja-raja mereka.
Tentara Jerman lebih dahulu bergerak menyeberangi Sungai Danube (selatan Jerman) menuju Konstatinopel. Di sana mereka disambut Kaisar Manual (Byzantium) yang memiliki semangat tanpa perhitungan matang dan tidak sepandai Kaisar Alexius. Sesampainya Tentara Jerman di Asia Kecil, dengan mudah Tentara Islam menggempurnya hingga sebagian besar Tentara Jerman ini terbunuh. Demikian pula nasib Tentara Perancis yang sampai ke Konstatinopel, mereka mengalami nasib yang sama seperti tentara Jerman–selain banyak yang mati karena wabah penyakit. Rata-rata dari mereka yang gagal menembus gerbang masuk kota mati kelaparan karena hanya diberi makan seadanya. Dengan sisa Tentara yang masih selamat mereka berangkat menuju Syria untuk menyerang Damaskus sebagai bentuk perluasan kekuasaan. Pemerintan dan Tentara Nuruddin Zangi dapat memerangi mereka dalam pertempuran yang hebat. Mereka pulang ke Eropa dengan kekalahan, Perang Salib II selesai. Akan tetapi Jerusalem masih lagi di kuasai oleh penguasa penguasa Kristen yang telah di lantik oleh pimpinan Gereja. Secara keseluruhan, kaum Kristen kalah, kemenangan terjadi pada saat perjalanan tentara Perang Salib Belanda dan Inggris untuk menyusul pasukan lainnya di tempat tujuan berhasil membantu Raja Alfonso dari Portugal untuk merebut kembali Lisbon dari tangan Muslim.
Penyebab kegagalan Tentara Salib dalam Perang Salib II adalah tidak adanya kerjasama yang baik antara mereka. Satu dengan yang lain tidak saling mempercayai karena masing-masing merasa khawatir bila kekuasaannya akan dilanggar, ditambah lagi wabah penyakit dan kelaparan yang terutama menimpa Tentara Perancis, disamping serangan yang tidak dilakukan secara serentak seperti pada Perang Salib I.
Sejak Pemeritntahan Islam, Dinasti Zangi memegang kembali kepemimpinan, perimbangan kekuatan berubah lagi. Kemenangan Nuruddin mempertinggi semangat untuk menaklukan lagi wilayah-wilayah yang dikuasai Kristen. Pada tahun 1149, ia menaklukan Antakiyah, pada tahun 1151 menaklukan Edessa, dan tahun 1164 menguasai Bohemond III dan Raymond III yang memerintah Tripoli. Kemudian, Nuruddin mengambil alih Damaskus dari Muiddin Umar yang dianggapnya lemah dalam menghadapi gerakan Tentara Salib, bahkan secara rahasia ia berusaha mengkhianati Nuruddin.
Yang penting pula Nuruddin mengirimkan seorang panglima yang gagah berani, Asaduddin Syirkuh, ke Mesir dalam rangka memperkuat sayap kiri menghadapi Tentara Salib. Syirkuh diterima baik oleh rakyat Mesir dan Khalifah Fatimiyyah. Ia diangkat sebagai perdana menteri, dan memegang kekuasaan pada tahun 1169. Namun, tidak lama kemudian ia wafat.
Kedudukannya lalu digantikan oleh Salahuddin al-Ayyubi. Kemenangan Tentara Muslim dibawah pimpinan Salahuddin berhasil mengembalikan kota suci Jerusalem (Peperangan Hittin). Kota suci itu tetap berada di tangan Muslim hingga Salahuddin menjadi Prajurit Hebat.

3. Perang salib ketiga (1189-1192) terjadi setelah Sholahuddin al Ayubi berhasil mempersatukan kembali wilayah-wilayah Islam di Mesir dan Syria. Perang ini merupakan Perang Salib yang terbesar, pada perang ini pihak Kristen dipimpin Phillip Augustus dari Prancis dan Richard Lionheart dari Inggris, sementara kaum Muslimin dipimpin Shalahuddin Al-Ayyubi. Pada masa itu, Kekhalifahan Islam terpecah menjadi dua, yaitu Dinasti Fathimiyah di Kairo (bermazhab Syi’ah) dan Dinasti Seljuk yang berpusat di Turki (bermazhab Sunni). Pada 1171 Sholahuddin berhasil menyingkirkan kekuasaan Fathimiyah di Mesir yang merupakan separatisme dari Khilafah di Bagdad, dan mendirikan pemerintahan Ayubiah yang loyal kepada Khalifah. Pada 1187 al-Ayubi berhasil merebut kembali Yerusalem. Hal ini setelah Salahuddin merekrut pasukan yang kemudian berperang melawan Pasukan Salib di Hattin (dekat Acre, kini dikuasai Israel). Orang-orang Kristen bahkan akhirnya terdesak dan terkurung di Baitul Maqdis. Kaum Muslimin meraih kemenangan (1187).
Serangan salib ketiga ini dipimpin oleh tokoh-tokoh Eropa yang paling terkenal: Friedrich I Barbarosa dari Jerman, Richard I Lionheart dari Inggris dan Phillip II dari Perancis. Namun di antara mereka ini sendiri terjadi perselisihan dan persaingan yang tidak sehat, sehingga Friedrich mati tenggelam, Richard tertawan (akhirnya dibebaskan setelah memberi tebusan yang mahal), sedang Phillip bergegas kembali ke Perancis untuk merebut Inggris justru selama Richard tertawan. Dua pemimpin tentara Perang Salib, Reynald dari Chatillon (Prancis) dan Raja Guy, dibawa ke hadapan Salahuddin. Reynald akhirnya dijatuhi hukuman mati karena terbukti memimpin pembantaian yang sangat keji kepada orang-orang Islam. Namun Raja Guy dibebaskan karena tidak melakukan kekejaman yang serupa. Tiga bulan setelah pertempuran Hattin, pada hari yang tepat sama ketika Nabi Muhammad diperjalankan dari Mekah ke Yerusalem dalam Isra’ Mi’raj, Salahuddin memasuki Baitul Maqdis. Kawasan ini akhirnya bisa direbut kembali setelah 88 tahun berada dalam cengkeraman musuh (2 Oktober 1187). Setelah Salahudin mengurangi intensitas ketegangan, Richard pun menawarkan damai dan berjanji akan menarik mundur pasukan Kristen pulang ke Eropa. Mereka pun menandatangani perjanjian damai (1197) yang isinya membebaskan orang Kristen untuk mengunjungi Palestina, asal tidak membawa senjata dan bermaksud damai. Selama delapan abad berikutnya, Palestina berada di bawah kendali kaum Muslimin.
Bila dibandingkan dengan Perang Salib I, pada Perang Salib I, Paus yang menjadi penggerak utama sekaligus dijadikan lambang dalam perang itu, sedangkan pada Perang Salib III, penggerak utamanya adalah intitusi politik, yaitu raja-raja Eropa Barat. Pada Perang Salib I, faktor agama menjadi pendorong yang penting, sedangkan pada Perang Salib III, faktor agama bukan lagi menjadi penyebab berkobarnya semangat. Pada Perang Salib III banyak orang Eropa yang turut berperang agar terbebas dari kewajiban membayar cukai.
Pada Perang Salib III, Raja Perancis Louis VII membebankan cukai 10% kepada rakyatnya yang tidak turut ke medan perang. Demikian pula Philip Augustus (Italia) dan Raja Inggris Richard the Lion Heart, ia menaikkan pajak yang disebut “Pungutan Pajak Salahuddin” yang diwajibkan kepada para pemimpin agama dan rakyat umum.
“I would sell the city of London, if only I had a buyer.”, demikian diungkapkan oleh Raja Richard I Lion Heart. Pihak gereja (Paus) juga giat mengumpulkan “Dana Perang Salib” sambil mengeluarkan fatwa bahwa orang yang tidak mampu berperang harus memberikan dana, dan akan diampuni segala dosanya sebagaimana orang yang turut berperang. Kepada setiap penderma diberikan “Daftar Pengampunan”. Akhirnya, gereja menjadi sumber dana yang penting dan terbesar dalam menjalankan misi untuk mengumpulkan semua bala Tentara Perang Salib III. Berbeda dengan Perang Salib I, yang dengan jumlah Tentara Salib cukup besar memiliki semangat dan bersatu dalam menghadapi Tentara Muslim Seljuk yang lemah dan berpecah belah, dalam Perang Salib III keadaan berbalik drastis.
Orang-orang yang memimpin Perang Salib III adalah raja-raja Eropa terkenal seperti:
1. Raja Jerman Frederic II Barbarosa
2. Raja Inggris Richard the Lion Heart
3. Raja Perancis Phillip Agustus.
Yang paling menonjol dan energetik adalah Frederic II yang memilih jalan darat menuju medan perang, menyeberangi sungai dekat Armenia, Ruha. Tetapi nasibnya malang, ia tenggelam dan meninggal ketika menyeberang sungai itu.
Tentara Inggris dan Perancis yang bergerak menuju jalan laut bertemu di Saqliah. Richard menuju Cyprus kemudian ke Palestina, sedangkan Phillip terus ke Palestina, dan mengepung Arqah dengan bantuan sisa-sisa Tentara Frederic.
Dalam pengepungan ini turut pula orang-orang Syam di bawah pimpinan Guys yang pernah mengadakan perjanjian damai dengan Salahuddin. Berkat dukungan tentara Richard dan angkatan lautnya, Arqah dapat direbut dan dikuasai. Tentara Salib melakukan pembunuhan besar-besaran meskipun setelah itu tidak ada lagi serangan ketentaraan. Perang Salib III ini diakhiri dengan perjanjian Ramallah (September 1192) setelah perang tiada henti selama 5 tahun. Perjanjian ini mengakui Salahuddin sebagai penguasa Palestina seluruhnya kecuali bandar Acra (satu jalur kecil dari Tyre ke Jaffa) yang berada di bawah pemerintahan Kristen.

4. Perang salib keempat (1202-1204) terjadi ketika pasukan salib dari Eropa Barat ingin mendirikan kerajaan Normandia (Eropa Barat) di atas puing-puing Yunani. Paus Innocentius III menyatakan pasukan salib telah murtad. Di Konstantinopel perampokan dan pemerasan Tentara Salib menimbulkan perlawanan rakyat, yang dibalas Tentara Salib dengan membakar kota itu serta mendudukkan kaisar dan padri Latin. Sebelumnya, kaisar dan padri Konstantinopel selalu berasal dari Yunani.
Tahun 1212, ribuan pemuda Perancis diberangkatkan dengan kapal untuk bergabung dengan pasukan Salib, namun oleh kapten kapal mereka justru dijual sebagai budak ke Afrika Utara. Reputasi pasukan salib sudah semakin pudar. Sebenarnya perang ini bukan antara Islam dan Kristen, melainkan antara Takhta Suci Katolik Roma dengan Takhta Kristen Ortodoks Romawi Timur di Konstantinopel (sekarang Istambul, Turki).
Pada masa Paus Innocent III, gereja membakar kembali semangat untuk meneruskan kembali Perang Salib. Dalam hal semangat dan kepemimpinan perang ini bercorak Perancis seperti Perang Salib I. Target perang ini diarahkan ke Mesir, yang disebabkan karena:
Mesir adalah pangkalan segala kekuatan Tentara Islam dan semua kekuatan Tentara Islam sudah beralih ke Mesir, sehingga Mesir harus dikuasai lebih dahulu;
Penaklukan Mesir akan membawa keuntungan perdagangan bagi para pedagang Italia. Jika serangan di arahkan dengan menguasai Jerusalem terlebih dahulu, orang Mesir akan melakukan tindakan pembalasan terhadap para pedagang di Delta Sungai Nil, Dimyat, dan Alexanderia.
Ketika Tentara Salib di Venisia (1202) bersiap hendak menuju Mesir, tiba-tiba semua pasukan perang diperintahkan untuk menyerang Konstatinopel pada bulan Juli 1203, dan berhasil menguasai kota itu pada bulan April 1204. Setelah itu, Baldwin VII diangkat sebagai Kaisar di Konstatinopel. Kekuatan ini berkuasa selama 60 tahun disana.

5. Serangan salib kelima (1218-1221) diumumkan oleh Paus Innocentius dan Konzil Lateran IV, yang juga menetapkan undang-undang inkuisisi dan berbagai aturan anti-Yahudi. Untuk mendapatkan kembali kontrol atas pasukan salib, jabatan raja Yerusalem digantikan oleh wakil Paus. Jabatan “raja Yerusalem” ini hanyalah “formalitas idealis”, tanpa kekuasaan sesungguhnya, karena de facto Yerusalem telah direbut kembali oleh al-Ayubi. Pada perang ini, orang-orang Kristen yang sudah bersatu berusaha menaklukkan Mesir yang merupakan pintu masuk ke Palestina. Tapi upaya ini gagal total. Sebelumnya pada tahun 1217 Leopold VI dari Austria dan Andrew II dari Hungaria berhasil merebut kota Damietta, namun setelah kekalahan mereka pada Pertempuran Al-Mansura mereka dipaksa mengembalikannya. Mereka sempat ditawari kekuasaan atas Jerusalem dan tempat-tempat suci Kristen di Palestina untuk ditukarkan dengan Damietta, namun Kardinal Pelagius menolaknya.9
Perang Salib ini merupakan rentetan dari Perang Salib I dan IV, dengan sasaran utamanya Mesir. Ketika itu Mesir berada di bawah Pemerintahan Al-Malik al-’Adil, yang meninggal dunia (1218) setelah Tentara Salib menguasai menara Al-Silsilah. Al-Malik kemudian digantikan oleh putranya Al-Malik al-Kamil (1218–1238). Al-Malik al-kamil menghadapi permasalahan internal, yaitu konspirasi yang dipimpin oleh seorang panglima yang berasal dari Kurdi, Ibn Masytub, yang hendak menggulingkannya. Ia lalu melarikan diri ke Yaman. Namun dengan bantuan adiknya, Al-Malik Mu’azzam dari Syam, ia kembali menduduki takhta Kesultanan Mesir. Tantangan dari luar–selain dari Tentara Salib, datang dari Tentara Mongol yang mulai menguasai dunia Islam bagian Timur, Khawarizami, negeri-negeri Transoxiana, dan sebagian negeri Parsi pada tahun 1220. Bahkan Baghdad pun turut di gempur oleh Tentara Mongol.
Kedudukan Tentara Salib cukup baik dengan jumlah Tentara yang besar atas seruan Paus Innocent III yang dilanjutkan oleh Paus Honorius III. Raja Juhanna de Brienne dan Wakil Paus, Plagius, memimpin pasukan ini. Kota Dimyat (Mesir) dengan mudah mereka kuasai pada tahun 1218. Serangan gempuran ke Kaherah tidak dapat diteruskan karena menunggu bantuan Frederic II dalam perjalanan untuk bantuan serangan selanjutnya.
Dengan situasi yang dramatis, sebagaimana digambarkan di atas, ditambah situasi ekonomi yang sulit, terutama karena surutnya Sungai Nil, Mesir terancam bahaya kelaparan. Al-Kamil pun mengajukan permintaan perdamaian. Ia menawarkan dengan menyerahkan Jerusalem dan hampir semua kota yang ditaklukkan Salahudin kepada Tentara Salib dengan syarat mereka (Tentara Salib) mundur dari Kota Dimyat.
Tawaran yang begitu menguntungkan pihak Tentara Salib itu ditolak, mereka malah ingin menguasai seluruh Mesir dan Syam. Penolakan ini mendapat persetujuan dari wakil Paus, Pelagius, karena kepentingan perdagangan Italia dan Barat terancam oleh kemajuan Pelabuhan Mesir.
Tidak ada pilihan bagi Al-Kamil: hancur atau menang. Munculah pemikiran untuk menghancurkan cabang-cabang sungai Nil yang menuju Kota Dimyat. Akhirnya banjir pun melanda seluruh Kota Dimyat, pemikiran ini kemudian direalisasikan olehnya. Banyak Tentara Salib yang meninggal akibat terancam bahaya kelaparan. Karena bantuan Frederic II yang diharapkan masih belum datang, Tentara Salib pun meninggalkan Kota Dimyat tanpa syarat.

6. Perang salib keenam (1228-1229) dipimpin oleh kaisar Suci Romawi Freidrich II dari Hohenstaufen, menjadi Raja Jerusalem melalui perkawinannya dengan Yolanda, puteri John dari Brienne.
Perang ini terjadi tanpa pertempuran yang berarti, disebabkan karena Frederick sebelumnya telah bersumpah untuk ikut dalam Perang Kelima namun gagal, sehingga merasa sangat wajib untuk ikut berperang kembali meskipun dia tidak menginginkannya. Ia lebih memilih berdialog dengan Sultan Mesir, Malik Al-Kamil, yang juga keponakan Shalahuddin. Dicapailah Kesepakatan Jaffa. Isinya, Baitul Maqdis tetap dikuasai oleh Muslim, tapi Betlehem (kota kelahiran Nabi Isa ‘alaihis-salaam) dan Nazareth (kota tempat Nabi Isa dibesarkan) dikuasai orang Eropa-Kristen. Sebagai “orang yang dimurtadkan” (excommuned) dia berhasil merebut kembali Jerusalem. Paus terpaksa mengakui dia sebagai raja Yerusalem. Sepuluh tahun kemudian Yerusalem berhasil direbut kembali oleh kaum muslimin. 

7. Perang salib ketujuh (1248-1254) dipimpin oleh Louis IX (1215-1270) dari Perancis yang telah dinobatkan sebagai “orang suci” oleh Paus Bonifatius VIII. Meski di negerinya Ludwig dikenal sebagai penegak hukum yang baik, namun ia memimpin sebuah organisasi yang amburadul sehingga ketika pada tahun 1248 menyerbu Mesir untuk merebut kembali Damietta tapi justru gagal dan tertangkap di Mesir. Prancis perlu menebus dengan emas yang sangat banyak untuk membebaskannya. Tahun 1270 Louis mencoba membalas kekalahan itu dengan menyerang Tunisia. Namun pasukannya berhasil dikalahkan Sultan Dinasti Mamaluk, Bibars. Louis meninggal di medan perang.10 

8. Perang Salib Kedelapan (1270) masih dipimpin oleh Raja Louis IX dari Perancis, dia berhasil mendarat di Afrika Utara untuk menaklukkan Kesultanan Tunisia menjadi Kristen, namun sudah terlanjur meninggal sebelum berhasil melaksanakannya.

9. Perang Salib Kesembilan (1271) dipimpin oleh Raja Edward I dari Inggris yang mencoba bergabung dengan Raja Louis di Tunisia, namun gagal karena Edward tiba setelah Louis meninggal. Sementara itu suku Baibar merebut Kastil Putih Tentara Templar, dan kemudian Krak des Chevaliers, pusat kesehatan yang utama. Dia kemudian melakukan perjanjian sepuluh tahun dengan Bohemond di Tripoli, kemudian ke Selatan dan merebut Montfort pada bulan Juni. Pada musim gugur itu, Raja Edward meminta Abaga mengirim 10.000 pasukan berkuda ke Syria; ini merupakan aliansi terkuat antara Mongolia dan kaum Kristen. Mereka menyerang Aleppo dan Apamea, namun tidak berhasil. Ketika Sultan Mamluk memimpin pasukan besar ke utara pada bulan November, Mongolia pergi dan tidak kembali. Pada tahun 1272, dia menerima tawaran perjanjian sepuluh tahun dari Edward. Baibar telah merebut banyak kota dan benteng utama, sehingga merasa dapat menunda menyelesaikan pekerjaan tersebut. Namun dia juga tetap memikirkan ancaman dari Mongol. Pada bulan Juni, Sultan menyuruh Assassin untuk membunuh Raja Edward. Usaha ini hampir berhasil dimana Edward akhirnya sakit selama enam bulan, namun tidak lama setelah sembuh ia kembali ke Inggris setelah mengetahui ayahnya Henry III meninggal.
Mamluks menghabiskan tahun-tahun berikutnya menginvasi Sisilia dan Armenia. Kaum Seljuk berada di bawah kendali Mongol. Saat Baibar mengalahkan garnisun Mongol pada tahun 1277, Abaga melakukan balas dendam. Baibar pergi ke Syria dan Abaga mampu memulihkan Anatolia. Sultan Mamluk meninggal pada 1 Juli 1277.
Di bawah Paus Gregorius X (1274) dan juga setelah jatuhnya Konstantinopel (1453), perang salib pernah diserukan kembali, namun tak pernah dimulai. Sejak perang salib keempat, perang ini sudah jatuh popularitasnya.
Sementara itu, tanpa di bawah lambang pasukan salib, pada 1236 Cordoba pusat Daulah Islam di Andalusia direbut kembali oleh pasukan Katolik Kastilia. Pada 1258 Bagdad –pusat Khilafah– dihancurkan oleh Mongol-Tartar.11 Kedua serangan ini juga punya akibat yang sangat fatal pada sejarah umat Islam selanjutnya.
Bagi Eropa, hasil positif perang salib yang utama adalah motivasi yang dalam banyak hal ikut memajukan Eropa. Ini karena perang salib mempertemukan bangsa Eropa dengan peradaban yang lebih tinggi.
Dampak Perang Salib
Bangsa Eropa belajar berbagai disiplin ilmu yang saat itu berkembang di dunia Islam lalu mengarangnya dalam buku-buku yang bagi dunia Barat tetap terasa mencerahkan. Mereka juga mentransfer industri dan teknologi konstruksi dari kaum muslimin, sehingga pasca perang salib terjadi pembangunan yang besar-besaran di Eropa. Gustav Lebon berkata: “Jika dikaji hasil perang salib dengan lebih mendalam, maka didapati banyak hal yang sangat positif dan urgen. Interaksi bangsa Eropa selama dua abad masa keberadaan pasukan salib di dunia Islam boleh dikatakan faktor dominan terhadap kemajuan peradaban di Eropa. Perang salib membuahkan hasil gemilang yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya.”
Efek negatifnya adalah secara teologis Eropa makin terpolarisasi. Dunia Kristen Barat makin membentengi diri dan bersikap memusuhi terhadap segala yang berasal dari luar. Dan ini berjalan hingga abad 20. Mentalitas perang salib ini juga pernah digunakan beberapa penguasa Barat untuk menekan kaum protestan. Dan pada Perang Dunia II, Hitler memotivasi pasukannya dalam melawan Rusia sebagai “Perang salib melawan Atheisme”.
Sedangkan umat Islam tidak mendapatkan apapun. Umat Islam tak bisa mengambil apa-apa dari satu pasukan yang bermoral bejat, yang sebagian besar berasal dari para penganggur dan penjahat. Perang salib menghabiskan aset umat Islam baik sumber daya alam maupun manusia. Kemiskinan terjadi karena seluruh kekayaan negara dialokasikan untuk perang. Dekadensi moral terjadi karena perang memakan habis kaum laki-laki dan pemuda. Kemunduran ilmu pengetahuan terjadi karena umat menghabiskan seluruh waktunya untuk memikirkan perang sehingga para ulama tidak punya waktu untuk mengadakan penemuan-penemuan dan karya-karya baru kecuali yang berhubungan dengan dunia perang.
Perang salib merupakan salah satu titik balik dari sejarah keemasan umat Islam. Perang salib yang melelahkan telah ikut berkontribusi atas proses hancurnya Khilafah Abbasiyah, sehingga serangan Tartar atas Bagdad pada 1258 hanya sekedar finalisasi dari proses tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Delapan Hal yang Membatalkan Puasa

Delapan Hal Yang Membatalkan Puasa Selain harus melaksanakan kewajiban-kewajiban pada saat puasa, kita juga dituntut untuk menjaga diri da...