Pembahasan Lengkap Mengenai NAHDLATUL ULAMA/NU,
Pengertian NU, Sejarah Berdirinya
A. PENDAHULUAN
(PENGERTIAN NU)
Mungkin kita
sering mendengar istilah NU atau Nahdlatul Ulama’, Namun apakah kita tahu apa
sich sebenarnya NU itu ? Nahdlatul Ulama atau yang disingkat NU, adalah sebuah
organisasi Islam terbesar di Indonesia, Organisasi yang berdiri pada 31 Januari
1926 dan bergerak di bidang pendidikan, sosial, dan ekonomi. Organisasi ini
dinilai sebagai organisasi Kebangkitan Ulama atau Kebangkitan Cendekiawan
Islam.
B. LATAR
BELAKANG / SEJARAH BERDIRINYA NU
Masjid
Jombang, tempat kelahiran organisasi Nahdlatul Ulama Sejarah berdirinya NU sangat
erat kaitannya keterbelakangan, baik secara mental, maupun ekonomi yang dialami
bangsa Indonesia, akibat penjajahan maupun akibat kungkungan tradisi, telah
menggugah kesadaran kaum terpelajar untuk memperjuangkan martabat bangsa ini,
melalui jalan pendidikan dan organisasi. Gerakan yang muncul 1908 tersebut
dikenal dengan “Kebangkitan Nasional“. Semangat kebangkitan memang terus
menyebar ke mana-mana – setelah rakyat pribumi sadar terhadap penderitaan dan
ketertinggalannya dengan bangsa lain. Sebagai jawabannya, muncullah berbagai
organisasi pendidikan dan pembebasan. Ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan
peran sangat penting dalam proses pendirian Jamiyyah Nahdlatul Ulama (NU) yaitu
Kiai Wahab Chasbullah (Surabaya asal Jombang), Kiai Hasyim Asy’ari (Jombang)
dan Kiai Cholil (Bangkalan). K.H. Hasyim Asyhari, Pendiri NU Mujammil Qomar, penulis buku “NU Liberal:
Dari Tradisionalisme Ahlussunnah ke Universalisme Islam”, melukiskan peran
ketiganya sebagai berikut Kiai Wahab sebagai pencetus ide Kiai Hasyim sebagai
pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. Kalangan pesantren
yang selama ini gigih melawan kolonialisme, merespon kebangkitan nasional
tersebut dengan membentuk organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada 1916. Kemudian pada tahun 1918 didirikan Taswirul
Afkar atau dikenal juga dengan “Nahdlatul Fikri” (kebangkitan pemikiran),
sebagai wahana pendidikan sosial politik kaum dan keagamaan kaum santri. Dari
situ kemudian didirikan Nahdlatut Tujjar, (pergerakan kaum saudagar). Serikat
itu dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. Dengan adanya
Nahdlatul Tujjar itu, maka Taswirul Afkar, selain tampil sebagai kelompok studi
juga menjadi lembaga pendidikan yang berkembang sangat pesat dan memiliki
cabang di beberapa kota. Berangkan komite dan berbagai organisasi yang bersifat
embrional dan ad hoc, maka setelah itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi
yang lebih mencakup dan lebih sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan
zaman. Maka setelah berkordinasi dengan berbagai kyai, akhirnya muncul
kesepakatan untuk membentuk organisasi yang bernama Nahdlatul Ulama
(Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31 Januari 1926). Organisasi ini
dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar. Untuk menegaskan prisip
dasar organisasi ini, maka K.H. Hasyim Asy’ari merumuskan kitab Qanun Asasi
(prinsip dasar), kemudian juga merumuskan kitab I’tiqad Ahlussunnah Wal Jamaah.
Kedua kitab tersebut kemudian diejawantahkan dalam khittah NU, yang dijadikan sebagai
dasar dan rujukan warga NU dalam berpikir dan bertindak dalam bidang sosial,
keagamaan dan politik.
Paham
Keagamaan Yang Dianut NU
NU menganut
paham Ahlussunah waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah
antara ekstrem aqli (rasionalis) dengan kaum ekstrem naqli (skripturalis).
Karena itu sumber pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga
menggunakan kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir
semacam itu dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu
Mansur Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih
cenderung mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain:
imam Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam
lambang NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan
metode Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf
dengan syariat. Gagasan kembali kekhittah pada tahun 1984, merupakan momentum
penting untuk menafsirkan kembali ajaran ahlussunnah wal jamaah, serta
merumuskan kembali metode berpikir, baik dalam bidang fikih maupun sosial.
Serta merumuskankembali hubungan NU dengan negara. Gerakan tersebut berhasil
kembali membangkitkan gairah pemikiran dan dinamika sosial dalam NU.
Fatayat NU
Berdirinya
Fatayat NU tidak bisa dilepaskan dari sejarah berdirinya Nahdlatul Ulama (NU)
sebagai organisasi induknya, dan sejarah Indonesia sebagai tanah airnya.
Penjajahan selama bertahun-tahun telah menyebabkan bangsa Indonesia terpuruk.
Perjuangan melawan keterbelakangan, kemiskinan, kebodohan, dan keterpurukan
akibat penjajahan ini kemudian mengkristal dan melahirkan semangat kebangkitan
di seantero negeri hingga mencapai puncaknya pada tahun 1908 yang dikenal
sebagai tahun Kebangkitan Nasional. Kalangan pesantren merespon spirit ini
dengan membentuk berbagai organisasi pergerakan, seperti Nahdlatul Wathan
(Kebangkitan Tanah Air) pada tahun 1916, Taswirul Afkar atau dikenal juga
dengan Nahdlatul Fikri (Kebangkitan Pemikiran) pada 1918 yang bergerak di
bidang pendidikan sosial politik, Nahdlatut Tujjar (Kebangkitan Kaum Saudagar)
yang dijadikan basis untuk memperbaiki perekonomian rakyat. NU memang dikenal
sebagai organisasi Muslim tradisional dan sejak awal anggotanya adalah laki-laki.
Namun demikian, pemimpin NU sejak awal telah merespon isu-isu perempuan secara
progresif. KH. Wahid Hasyim yang merupakan putera KH. Hasyim Asy’ari misalnya
pernah membolehkan perempuan menjadi seorang hakim. Isu perempuan semakin
mendapatkan perhatian ketika Kiai Dahlan mengusulkan berdirinya organisasi
perempuan NU di Kongres NU ke XIII di Menes Banten pada tanggal 11-16 Juni
1938. Kongres ini sangat penting karena mulai membicarakan tentang perlunya
perempuan mendapatkan kesamaan hak untuk mendapatkan didikan agama melalui NU.
Ketika itu kongres baru menyetujui perempuan untuk menjadi anggota NU yang
hanya bisa menjadi pendengar dan pengikut dan tidak boleh duduk dalam
kepengurusan. Perkembangan penting kembali terjadi pada kongres NU ke XV di
Surabaya pada tanggal 5-9 Desember 1940. Ketika itu, terjadi perdebatan sengit
merespon usulan agar anggota perempuan NU mempunyai struktur pengurusnya
sendiri di dalam NU. Kiai Dahlan termasuk mereka yang gigih memperjuangkan agar
usulan tersebut diterima. Hingga sehari sebelum kongres berakhir, peserta tidak
mampu memutuskan hingga akhirnya disepakati untuk menyerahkan keputusan
akhirnya pada Pengurus Besar Syuriah NU. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh Kiai
Dahlan untuk mendapatkan persetujuan secara tertulis dari KH. Hasyim Asy’ari
dan KH. Wahab Hasbullah. Setelah didapatkan, maka peserta kongres pun dengan
mudah menyetujui perlunya anggota perempuan NU untuk memiliki struktur
kepengurusannya sendiri di dalam NU. Pada Kongres NU ke-XVI di Purwokerto
tanggal 29 Maret 1946, struktur kepengurusan anggota perempuan NU disahkan dan
diresmikan sebagai bagian dari NU. Namanya ketika itu adalah Nahdhlatul Ulama
Muslimat yang disingkat NUM. Ketua pertama terpilihnya adalah Ibu Chadidjah
Dahlan dari Pasuruan yang tak lain adalah isteri Kiai Dahlan. Kebangkitan
perempuan NU juga membakar semangat kalangan perempuan muda NU yang dipelopori
oleh tiga serangkai, yaitu Murthasiyah (Surabaya), Khuzaimah Mansur (Gresik),
dan Aminah (Sidoarjo). Pada Kongres NU ke XV tahun 1940 di Surabaya, juga hadir
puteri-puteri NU dari berbagai cabang yang mengadakan pertemuan sendiri yang
menyepakati dibentuknya Puteri Nahdlatul Ulama Muslimat (Puteri NUM). Mereka
sebetulnya sudah mengajukan kepada Kongres NU agar disahkan sebagai organisasi
yang berdiri sendiri di dalam NU, namun Kongres hanya menyetujui Puteri NUM
sebagai bagian dari NUM. Dalam dua tahun, Puteri NUM meminta agar mempunyai
Pimpinan Pusatnya sendiri yang terpisah dari NUM karena organisasi Puteri NUM
di tingkat Cabang terus bertambah. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
kemudian menyetujui pembentukan Pengurus Pusat Puteri NUM yang diberi nama
Dewan Pimpinan Fatayat NU pada tanggal 26 Rabiul Akhir 1939/14 Februari 1950.
Selanjutnya Kongres NU ke-XVIII tanggal 20 April-3 Mei 1950 di Jakarta secara
resmi mengesahkan Fatayat NU menjadi salah satu badan otonom NU. Namun
berdasarkan proses yang berlangsung selama perintisan hingga ditetapkan, FNU
menyatakan dirinya didirikan di Surabaya pada tanggal 24 April 1950 bertepatan
dengan 7 Rajab 1317 H. Pucuk Pimpinan Fatayat NU pertama adalah Nihayah Bakri
(Surabaya) sebagai Ketua I dan Aminah Mansur (Sidoarjo) sebagai Ketua II.
Kepengurusan pada waktu itu hanya mempunyai dua bagian, yaitu bagian penerangan
danpendidikan.
C. ORGANISASI
NU
Tujuan
Menegakkan
ajaran Islam menurut paham Ahlussunnah waljama’ah di tengah-tengah kehidupan
masyarakat, di dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Usaha
Di bidang
agama, melaksanakan dakwah Islamiyah dan meningkatkan rasa persaudaraan yang
berpijak pada semangat persatuan dalam perbedaan.
Di bidang
pendidikan, menyelenggarakan pendidikan yang sesuai dengan nilai-nilai Islam,
untuk membentuk muslim yang bertakwa, berbudi luhur, berpengetahuan luas.Hal
ini terbukti dengan lahirnya Lembaga-lembaga Pendidikan yang bernuansa NU dan
sudah tersebar di berbagai daerah khususnya di Pulau Jawa.
Di bidang
sosial budaya, mengusahakan kesejahteraan rakyat serta kebudayaan yang sesuai
dengan nilai keislaman dan kemanusiaan.
Di bidang
ekonomi, mengusahakan pemerataan kesempatan untuk menikmati hasil pembangunan,
dengan mengutamakan berkembangnya ekonomi rakyat.Hal ini ditandai dengan
lahirnya BMT dan Badan Keuangan lain yang yang telah terbukti membantu
masyarakat.
Mengembangkan
usaha lain yang bermanfaat bagi masyarakat luas. NU berusaha mengabdi dan
menjadi yang terbaik bagi masyrakat.
Struktur
Pengurus Besar
(tingkat Pusat).
Pengurus
Wilayah (tingkat Propinsi), terdapat 33 Wilayah.
Pengurus
Cabang (tingkat Kabupaten/Kota) atau Pengurus Cabang Istimewa untuk kepengurusan
di luar negeri, terdapat 439 Cabang dan 15 Cabang Istimewa.
Pengurus
Majlis Wakil Cabang / MWC (tingkat Kecamatan), terdapat 5.450 Majelis Wakil
Cabang.
Pengurus
Ranting (tingkat Desa / Kelurahan), terdapat 47.125 Ranting. Untuk Pusat,
Wilayah, Cabang, dan Majelis Wakil Cabang, setiap kepengurusan terdiri dari:
Mustasyar (Penasihat) Syuriyah (Pimpinan tertinggi) Tanfidziyah (Pelaksana
Harian)
Untuk Ranting,
setiap kepengurusan terdiri dari: Syuriyah (Pimpinan tertinggi) Tanfidziyah
(Pelaksana harian)
Lembaga
Merupakan
pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan suatu bidang tertentu. Lembaga ini
meliputi:
Lembaga Dakwah
Nahdlatul Ulama (LDNU)
Lembaga
Pendidikan Ma’arif Nahdlatul Ulama (LP Ma’arif NU)
Lembaga
Pelayanan Kesehatan Nahdlatul Ulama ( LPKNU )
Lembaga
Perekonomian Nahdlatul Ulama (LPNU)
Lembaga
Pengembangan Pertanian Nahdlatul Ulama (LP2NU)
Rabithah
Ma’ahid Islamiyah (RMI)
Lembaga
Kemaslahatan Keluarga Nahdlatul Ulama (LKKNU)
Lembaga Takmir
Masjid (LTM)
Lembaga Kajian
dan Pengembangan Sumberdaya Manusia NU
Sarikat Buruh
Muslimin Indonesia (SARBUMUSI)
Lembaga
Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH)
Lajnah Bahtsul
Masail (LBM-NU)
Lajnah
Merupakan
pelaksana program Nahdlatul Ulama (NU) yang memerlukan penanganan khusus.
Lajnah ini meliputi:
Lajnah Falakiyah
(LF-NU)
Lajnah Ta’lif
wan Nasyr (LTN-NU)
Lajnah Auqaf
(LA-NU)
Lajnah Zakat,
Infaq, dan Shadaqah (Lazis NU)
Badan Otonom
Merupakan
pelaksana kebijakan NU yang berkaitan dengan kelompok masyarakat tertentu.
Badan Otonom ini meliputi:
Jam’iyyah Ahli
Thariqah Al-Mu’tabarah An-Nahdliyah
Muslimat
Nahdlatul Ulama
Gerakan Pemuda
Ansor (GP Ansor)
Fatayat
Nahdlatul Ulama
Ikatan Pelajar
Nahdlatul Ulama (IPNU)
Ikatan Pelajar
Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU)
Ikatan Sarjana
Nahdlatul Ulama (ISNU)
Ikatan Pencak
Silat Pagar Nusa (IPS Pagar Nusa)
Jami’iyyatul
Qurro wal Huffadz (JQH)
D. NU DAN POLITIK
Pertama kali
NU terjun pada politik praktis pada saat menyatakan memisahkan diri dengan
Masyumi pada tahun 1952 dan kemudian mengikuti pemilu 1955. NU cukup berhasil
dengan meraih 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante. Pada masa Demokrasi
Terpimpin NU dikenal sebagai partai yang mendukung Sukarno. Setelah PKI
memberontak, NU tampil sebagai salah satu golongan yang aktif menekan PKI,
terutama lewat sayap pemudanya GP Ansor. NU kemudian menggabungkan diri dengan
Partai Persatuan Pembangunan pada tanggal 5 Januari 1973 atas desakan penguasa
orde baru. Mengikuti pemilu 1977 dan 1982 bersama PPP. Pada muktamar NU di
Situbondo, NU menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926′ yaitu untuk tidak
berpolitik praktis lagi. Namun setelah reformasi 1998, muncul partai-partai
yang mengatasnamakan NU. Yang terpenting adalah Partai Kebangkitan Bangsa yang
dideklarasikan oleh Abdurrahman Wahid. Pada pemilu 1999 PKB memperoleh 51 kursi
DPR dan bahkan bisa mengantarkan Abdurrahman Wahid sebagai Presiden RI. Pada
pemilu 2004, PKB memperoleh 52 kursi DPR. Oke, cukup sudah bahasan yang panjang
ini saya tulis, semoga menambah pengetahuan anda tentang apa itu NU atau
Nadhlatul Ulama!
Sumber : Dirangkum dan diperbarui
masuk-islam.com dari berbagai sumber
http://id.wikipedia.org/wiki/Nahdlatul_Ulama-kanal3.wordpress.com/2009/05/15/sejarah-berdirinya-nahdlatul-ulamafatayat.or.id/Sejarah
Wallahu 'alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar